Tanaman dalam pot di sekitaran rumahku kelihatannya mau mati, tidak lama lagi. Aku masih ingat waktu mamaku dengan dramatisnya menggotong kotak besar penuh mawar kecil dan tumbuhan-tumbuhan yang lebih banyak daunnya ke depan pintu, lalu meletakkannya tidak jauh dari sana. Tapi itu sudah lama sekali saat aku pindah ke kontrakan ini. Dan sepertinya sampai sekarang sudah hampir satu tahun—tidak ada yang pernah benar-benar menghitung. Bukan berarti aku tidak suka, karena justru sebaliknya. Dan untuk itu aku tidak mau pulang. Aku belum mau sebelum ada perubahan dari dalam diriku, sebelum aku bisa membuat kakak-kakakku menganggapku—minimal—bisa berjalan-jalan dengan orang lain tanpa merasa mual.
Sore ini, aku sudah tidak peduli lagi dengan pot-pot itu. Selepas membeli seliter beras dan dua kotak besar sereal serta susu bubuk, aku mulai memikirkan tumpukan buku-buku di atas lemari yang jika kubiarkan terus-menerus seperti baju kotor, bisa jadi akan berakhir seperti tanaman mama di luar. Masalahnya, hampir semua tema buku yang juga dibelikan mama terdiri dari inspirasi dan motivasi, dan meski niatnya menyuruhku terinspirasi dan termotivasi, semuanya gagal total. Semuanya terlalu mengada-ada. Contohnya, anggap saja seseorang menyakiti orang lain, lalu seseorang itu berakhir dengan menjadi bahan bully teman-temannya di kantor. Di novel, dia akan berusaha keras mendapatkan permintaan maaf dari semua orang, dari penyendiri menjadi orang paling pandai bersoaialisasi. Dia akan mengikuti bakti sosial, bergabung dengan grup fitness teman-teman perempuannya, dan mengobrol di restoran tertentu tiap akhir pekan.
Nyatanya, bahkan kalau pun aku tidak pernah menyakiti siapa pun, aku—yang memang terlahir sebagai setengah pendiam setengah pengecut—terlalu takut bahkan hanya untuk bertatap muka dengan orang lain. Saat mereka mengajakku bicara, aku malah sibuk memikirkan segunung kata-kata sebagai tanggapan. Aku tidak pernah benar-benar bisa mengatasi kelemahan ini sendirian. Dan sekarang, novel-novel itu sangat layak dibenci.
Nyatanya, bahkan kalau pun aku tidak pernah menyakiti siapa pun, aku—yang memang terlahir sebagai setengah pendiam setengah pengecut—terlalu takut bahkan hanya untuk bertatap muka dengan orang lain. Saat mereka mengajakku bicara, aku malah sibuk memikirkan segunung kata-kata sebagai tanggapan. Aku tidak pernah benar-benar bisa mengatasi kelemahan ini sendirian. Dan sekarang, novel-novel itu sangat layak dibenci.
Jadi, baru beberapa jam lalu, kuputuskan untuk menelepon seseorang yang membuatku harus memikirkan banyak kalimat sebagai bahan perbincangan keesokan harinya.
Dia adalah anak lelaki kurus yang jelas lebih muda dariku (mungkin enam atau tujuh tahun), dan entah bagaimana hal itu tidak membuatku lega sedikit pun. Meski seharusnya aku merasa beruntung hanya harus berbicara dengan anak kelas 3 SMA, ternyata tidak ada yang berubah. Kelihatannya, sifat semacam ini tidak lagi memandang umur.
Aku cuma memandang meja sewaktu dia bicara, "Kak, ini buku-buku bagus loh. Lihat! Ada Laskar Pelangi. Terus ini juga bagus. Oh, ini apa, Kak?"
Mataku melirik sebentar, tapi kurasa dia sudah tahu dan menjawab pertanyaannya sendiri, "Oh, ini Hate List, ya? Karya Jennifer Brown? Serius?"
Anak itu berubah histeris.
"Kenapa memang?" tanyaku.
"Ini bagus, tahu? Saya pernah baca versi aslinya, tapi belum sempat beli yang ini—yang terjemahan." Ia nyengir sedikit, memandangi kovernya yang membuatku sedikit mual.
Di dalam novel itu, tokoh utamanya terlalu pemberani. Dia mau-mau saja terjun langsung ke kelompok orang yang membencinya. Yah. Itu bagus. Tapi mustahil berlaku untukku.
"Pangeran Cilik," gumam anak itu—aku sadar belum berkenalan dengannya, "banyak menggambarkan perilaku orang dewasa."
Aku cuma mengangguk.
"Ehm, ini The Kite Runner. Boleh saya tebak—"
"—iya. Itu novel inspiratif, tentang lebih menghargai orang, meski orang itu statusnya lebih rendah," potongku, berusaha menjawab pertanyaannya, selagi dia masih bertanya, sebelum dia cuma mengatakan kalimat berita di mana dibutuhkan tanggapan yang lebih sulit lagi.
"Begitu, ya? Sebenarnya saya mau bilang kalau ini novel Afganistan."
"Oh."
Tiba-tiba saja aku merasa khawatir, terlebih lagi ketika anak itu tidak lagi mengucapkan sesuatu. Ia sibuk menata buku-buku pemberianku untuk perpustakaan sekolahnya, sementara aku cuma diam saja di sini.
"Kakak, sebenarnya bukan saya yang harus ke sini. Seperti di telepon kemarin, guru saya yang seharusnya datang. Sayangnya, dia berhalangan hadir." Ia nyengir sedikit. "Ngomong-ngomong, kemarin saya baru saja dapat info kalau buku saya akan diterbitkan."
"Buku kamu?" Aku bertanya, sedikit penasaran.
Dia adalah anak lelaki kurus yang jelas lebih muda dariku (mungkin enam atau tujuh tahun), dan entah bagaimana hal itu tidak membuatku lega sedikit pun. Meski seharusnya aku merasa beruntung hanya harus berbicara dengan anak kelas 3 SMA, ternyata tidak ada yang berubah. Kelihatannya, sifat semacam ini tidak lagi memandang umur.
Aku cuma memandang meja sewaktu dia bicara, "Kak, ini buku-buku bagus loh. Lihat! Ada Laskar Pelangi. Terus ini juga bagus. Oh, ini apa, Kak?"
Mataku melirik sebentar, tapi kurasa dia sudah tahu dan menjawab pertanyaannya sendiri, "Oh, ini Hate List, ya? Karya Jennifer Brown? Serius?"
Anak itu berubah histeris.
"Kenapa memang?" tanyaku.
"Ini bagus, tahu? Saya pernah baca versi aslinya, tapi belum sempat beli yang ini—yang terjemahan." Ia nyengir sedikit, memandangi kovernya yang membuatku sedikit mual.
Di dalam novel itu, tokoh utamanya terlalu pemberani. Dia mau-mau saja terjun langsung ke kelompok orang yang membencinya. Yah. Itu bagus. Tapi mustahil berlaku untukku.
"Pangeran Cilik," gumam anak itu—aku sadar belum berkenalan dengannya, "banyak menggambarkan perilaku orang dewasa."
Aku cuma mengangguk.
"Ehm, ini The Kite Runner. Boleh saya tebak—"
"—iya. Itu novel inspiratif, tentang lebih menghargai orang, meski orang itu statusnya lebih rendah," potongku, berusaha menjawab pertanyaannya, selagi dia masih bertanya, sebelum dia cuma mengatakan kalimat berita di mana dibutuhkan tanggapan yang lebih sulit lagi.
"Begitu, ya? Sebenarnya saya mau bilang kalau ini novel Afganistan."
"Oh."
Tiba-tiba saja aku merasa khawatir, terlebih lagi ketika anak itu tidak lagi mengucapkan sesuatu. Ia sibuk menata buku-buku pemberianku untuk perpustakaan sekolahnya, sementara aku cuma diam saja di sini.
"Kakak, sebenarnya bukan saya yang harus ke sini. Seperti di telepon kemarin, guru saya yang seharusnya datang. Sayangnya, dia berhalangan hadir." Ia nyengir sedikit. "Ngomong-ngomong, kemarin saya baru saja dapat info kalau buku saya akan diterbitkan."
"Buku kamu?" Aku bertanya, sedikit penasaran.
"Iya, saya menulis buku. Debut, Kak."
"Genrenya apa?"
"Apa ya?" Dia nyengir lagi, seolah sedang menggoda bocah sekolah dasar. Dan berhubung aku sama sekali tidak mengubah ekspresi yang entah seperti apa, dia langsung merasa malu. Tangannya yang kurus mengusap-usap tumpukan buku sebelum menjawab, "Teenlit, Kak. Saya masih cari aman, soalnya kebanyakan orang suka teenlit."
"Begitu, ya?"
"Iya. Eh, itu sih biasanya remaja. Kalau yang lain, bisa jadi beda. Kalau Kakak apa? Teenlit juga?"
Aku cuma mengerutkan kening. Intinya, setahuku kebanyakan Teen Literatur berisi kisah percintaan para remaja. Dan aku belum percaya cinta, lagi pula aku sama sekali bukan remaja lagi—beginilah rasanya punya hidup membosankan.
Mungkin mengerti ketidaksukaanku, dia buru-buru mengganti topik dari Teen Literatur ke genre persahabatan, keluarga, motivasi dan lain-lain. Kemudian, dia mulai membicarakan Hate List.
Katanya seperti ini, "Saya sudah buat kerangka novel kedua. Terinspirasi dari Hate List. Bukan berarti saya dianggap plagiarisme, kan?"
"Nggak, kok."
"Bagus, deh. Ehm, Kakak kan sudah sering baca buku. Sebetulnya, selain novel ini, saya jarang baca buku lain dengan genre yang sama. Jadi, boleh kan kalau saya tanya ke Kakak? Maksud saya soal rekomendasi buku atau kritik dan saran dari buku saya."
Dia benar-banar berbicara seolah aku ini teman akrabnya. Aku sedikit heran. Tidak biasanya seseorang bersikap seterbuka ini, sangat berbeda, mungkin seperti barang bermerek dan sampah. Dan asal tahu saja, dialah barang bermerek, jadi kalian tahu aku apa.
"Ada rekomendasi?" tanyanya lagi, "Mungkin Pengejar Layang-Layang?"
"The Kite Runnner?"
Ia mengangguk.
"Saya kurang suka peran utamanya. Dia egois."
"Serius, Kak? Amir—peran utama The Kite Runner—berusaha menebus kesalahannya sampai akhir cerita."
Aku mengerutkan kening lagi. Ternyata dia sudah tahu.
"Iya kan, Kak?"
"Iya, tapi dia nggak bisa dimaafkan. Kamu ingat, nggak? Bahkan waktu dia mengejar layang-layang, dia tetap belum dimaafkan. Itu satu-satunya bagian yang saya suka."
"Begitu, ya?" Dia ragu sejenak. "Tapi, dia berusaha menyelamatkan anak itu."
"Secara teknis, anak itu yang menyelamatkan diri sendiri."
Dia mengangguk. Ya, dia pasti ingat. Novel ini bercerita tentang bagaimana egoisnya Amir—menurut pendapatku, jadi penilaian ini sangat subjektif—dalam memperlakukan pembantunya yang merupakan kaum Hazara, mungkin semacam etnis minoritas atau apalah.
Intinya, dia pernah melakukan kesalahan fatal pada pembantu itu. Yah, bukan berarti dia adalah tokoh utama antagonis yang memaksa berubah jadi protagonis. Selama sisa hidupnya, dia berusaha menebus kesalahannya dengan merawat anak dari si Hazara tadi. Tapi tetap saja, anak itu—seperti yang kubilang tadi—secara teknis menyelamatkan hidupnya sendiri dengan ketapel. Dan bagian terbaiknya, seolah tahu segala hal di masa lalu, si anak tidak langsung menyukainya begitu saja. Entah kenapa bagian ini paling terasa nyata: bahwa orang tidak akan dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain semudah yang ada di novel-novel pemberian mamaku, sama seperti aku yang entah kenapa benar-benar sulit berbicara dengan orang lain, meski hanya dengan kakak-kakakku yang seharusnya ada dalam daftar orang-orang terdekat. Aku tidak bisa dengan mudah melakukan sesuatu dengan instan—semoga ada yang mengerti kondisi ini.
Aku menghela napas, gagasan ini memang tidak ada hubungannya satu sama lain. Aku pun tidak tahu kenapa nilai moral yang kuambil dari sesuatu bukan nilai moral yang diharapkan orang lain untuk diambil: nilai moral yang sebenarnya.
Mataku membelalak tiba-tiba. Kenangan ini hampir membuatku lupa bahwa ada orang lain di sini.
Dia berkata, tampak semakin menjauhi topik, "Kita bisa membuat quote."
"Quote?"
"Iya. Saya punya kesimpulan kalau ending novel kedua saya adalah si pendiam dan tertutup menjadi lebih terbuka dan banyak bicara."
Aku mengernyit sedikit, "Kamu belum bilang kan kalau tokoh utamanya pendiam?"
"Iya, sih. Tapi gagasan barusan muncul begitu saja. Sudah saya bilang kan kalau saya terinspirasi dari Hate List. Dan berhubung penembakan di sekolah* bisa jadi kontroversi, saya ambil jalan mudahnya saja, Kak. Maksud saya bagian itu, tentang pendiam jadi mau bicara."
"Perubahan di novel itu terlalu maksa. Paham, kan? Kesannya nggak real. Kenapa kamu nggak nulis sesuatu yang lebih nyata? Dia tetap pendiam dan tertutup sampai akhir karena berubah itu memang susah," kataku, entah kenapa aku malah jadi memaksanya mengubah jalan ceritanya sendiri.
"Yah. Tapi novel saya nggak bakal laku, Kak, karena nggak ada perkembangan karakter dan nasibnya juga nggak berubah. Kesannya saya cuma nulis cerpen yang panjang. Gitu, Kak. Nggak ada perubahan sampai akhir."
Dia menceramahiku, dan sialnya, dia benar. Aku tidak bisa selamanya menyalahkan tokoh di novel-novel yang berakhir bahagia. Lagi pula, sebetulnya masih banyak novel yang berakhir lebih buruk dari masalahku sekarang—bahwa intinya, aku terlalu tertutup dan tidak percaya apa pun, bahkan mungkin dengan diri sendiri—yang sengaja tidak mama beli. Bagaimanapun, aku harus sadar bahwa titik permasalahan di dalam diriku adalah ketidakmampuanku untuk mendorong diri sendiri alih-alih menyalahkan motivasi pemberian mama.
Anak ini mungkin saja benar. Isi buku yang tidak berkembang tidak akan dilirik pembaca. Mungkin di awal penerbitan akan ada satu-dua yang mencoba, tapi lalu buku itu dilupakan karena mendapat rating jeblok. Dan kurasa hukum itu berlaku juga untukku. Orang-orang memberiku dorongan, menerimaku di lingkaran mereka. Tapi pada akhirnya aku tidak bisa terus-terusan dibantu seperti anak kecil. Mereka meninggalkanku, dan seperti hal klise yang selalu berhubungan dengan masalah ini di kebanyakan novel Teenlit: aku tidak punya teman.
Akhirnya aku berkata, "Sepertinya saya tahu kenapa dia mencoba memperbaiki diri secepat itu. Karena dia berstatus sebagai orang terdekat dari pelaku pembunuhan. Jadi dia merasa harus melakukan sesuatu secepat mungkin untuk ..." Aku diam sebentar.
"Menebus kesalahan. Tanggung jawabnya besar, Kak. Kalau saja dia sekadar pendiam, mungkin dia nggak akan terjun langsung secepat itu," sambungnya.
"Kadang-kadang seseorang nggak mau berubah karena merasa ada di zona aman. Padahal enggak, kan? Maksud saya, seolah seseorang itu harus menunggu masalah dulu, baru dia mau berubah." Dan begitu aku menutup mulut, aku langsung menyesal. Aku baru saja menceramahi diri sendiri.
Anak itu nyengir lebar, "Wah, itu bisa dikutip, Kak."
Aku melongo, "Serius? Kamu mau bikin quote pakai kata-kata saya barusan?"
Dia mengangguk, kemudian membuka-buka bukuku yang lain. Tiba-tiba saja dia menyerahkan salah satu buku, "Katanya buku ini bagus. Saya yakin Kakak belum pernah baca. Ya, kan?"
Aku mengangguk. Tidak semua dari tumpukan itu pernah kubaca, bahkan aku tidak tahu apa isinya. Warna kertasnya menguning dan sampulnya sudah robek.
"Tapi kan buku ini sudah berubah hak miliknya."
"Iya, makanya saya pinjamin ini ke Kakak. Hehe."
Akhirnya kuterima saja buku itu, barangkali aku bisa mendapat pencerahan sedikit.
"Saya masih ingat quote Kakak tadi. Nanti malam, saya langsung catat di bawah kerangka novel saya. Itu kutipan kita ya, Kak. Kata kita."
"Loh. Kan kamu nggak ikut," kataku sambil tersenyum kecil.
"Tapi kan saya ikut membangun topik ini, Kak. Saya yang bertugas sebagai pembangun susana. Hehehe."
Dia tertawa, sementara aku pun semakin yakin bahwa dia adalah barang bermerek yang sangat terkenal dan berkualitas, sedangkan aku masih sampah. Tapi minimal, aku akan berusaha supaya orang-orang akan menimbunku atau menjadikanku pupuk, sehingga aku tidak mengganggu dan sedikit berguna.
Anak itu bangkit, "Kakak mau datang ke peluncuran buku pertama saya?"
Aku tidak tahu harus berkata apa, lagi pula masih ada tanaman-tanaman yang harus disiram. Dan sebelum mereka berubah menjadi bunga yang berjatuhan dan daun-daun layu, aku akan berubah lebih dulu. Gagasan ini terasa menjanjikan meski sejujurnya aku sama sekali tidak yakin. Tapi aku harus memulai, dan sebagai permulaan, kujawab dia, "Oke."
*Novel Hate List menceritakan tentang seorang gadis yang memiliki pacar seorang pembunuh. Orang-orang yang dibunuh adalah teman-teman sekolah yang mereka benci, yang ditulis di dalam daftar kebencian. Untuk menebus kesalahan, gadis itu berusaha meminta maaf dan berbaur dengan teman-teman dari si terbunuh.
Komentar
Posting Komentar