Judul Buku : I Want to Eat Your Pancreas
Nama Pengarang : Sumino Yoru
Penerjemah : Khairun Nisak
Penerbit : Penerbit Haru
Tahun Terbit : Maret, 2017
Jumlah Halaman : 308 halaman
Blurb:
Aku menemukan sebuah buku di rumah sakit. Judulnya Cerita Teman si Sakit. Pemiliknya adalah Yamauchi Sakura, teman sekelasku. Dari sana aku tahu dia menderita penyakit pankreas. Buku itu adalah buku harian rahasia miliknya. Namun gadis itu tidak seperti orang sakit. Dia seenaknya sendiri, dia mempermainkan perasaanku, dia suka menggodaku. Dan aku... mungkin dia menarik hatiku.
Review:
Novel ini menceritakan tentang gadis periang penderita penyakit pankreas, yang akhirnya berteman dengan 'Aku' –cowok pendiam si kutu buku. Temanya sederhana sekali, kan? Tentang dua orang berbeda sifat yang bersahabat, sementara salah satu di antaranya sakit keras. Tapi di situlah letak kelebihan buku ini, di mana si penulis berhasil meramu kata kata sehingga membuat pembaca tidak bosan dan tidak berpikir 'cerita ini biasa aja, udah sering baca cerita seperti ini'.
Karena kau adalah orang yang berlawanan denganku, hal yang tak terpikirkan olehku sepertinya akan terpikir olehmu. - hal 47
Sebenarnya buku ini adalah novel Jepang pertama yang aku baca (meski terjemahan), dan aku pun langsung suka–walau sebenarnya aku kurang tertarik dengan novel teenlit–dengan beberapa alasan. Pertama, dari awal aku langsung suka dengan si 'Aku' dan segala sifat polosnya. Di sini, tokoh Aku tersebut sama sekali tidak berusaha menonjolkan diri–bahkan namanya pun tidak disebutkan hingga nyaris akhir buku–tapi bukan berarti dia sok merendah.
...apa aku pernah ngobrol dengan <Teman Sekelas yang Muram>-kun? - hal 71
Memang sih, si Aku digambarkan sebagai sosok yang suka menyendiri dan tidak punya teman. Namun aku benar-benar menyukai caranya menyikapi kesendiriannya itu, entah dengan membaca buku atau pun memikirkan orang-orang di sekitarnya. Kedua, halaman-halaman awal buku ini berhasil membuatku ketawa, terutama di bagian dialog antara tokoh Aku dan Sakura, si gadis yang mempunyai penyakit pankreas.
“Whoa, nungging.”
“Maksudmu nanggung? Ini angka yang tanggung?”
“Ya, nungging, nungging.” - hal 135
NB. Aku penasaran, di versi asli apakah kata nungging juga dipakai? Hehe.
Nah, dari sini kusimpulkan bahwa bagian itu seolah dijadikan tipuan–dalam arti positif ya. Maksudnya, alur cerita di novel ini seolah ingin menghibur pembacanya dulu sebelum nanti menjatuhkannya. Tapi, meskipun cerita ini berisi tentang orang yang jatuh sakit dan di prolog pun sudah dikisahkan sad part-nya, novel ini sama sekali bukan jenis novel yang akan membuat pembaca baper dan mewek sepanjang waktu, kok. Ketiga, bahasanya santai khas remaja. Walau temanya terkesan ringan dan sederhana, feelnya terasa mulai dari awal hingga akhir buku. Keempat, kisahnya cukup realistis untuk ukuran anak SMA. Aku gambaran seperti ini, ya.. Biasanya–tidak selalu juga, sih–ada cerita di mana tokoh-tokohnya sulit diterima akal sehat. Contohnya, remaja di bawah umur dan belum bekerja yang kekayaannya tidak bisa dipikir pakai nalar, atau remaja yang hidupnya hanya memikirkan kisah cinta seolah dia tidak butuh sekolah, atau bahkan makan. Nah, di sini, si Aku ini masih meminta uang saku ke orangtua, terus 'Aku' harus bantu-bantu ibu menanak nasi juga walau dia cowok. Mungkin bagian ini memang tidak terlalu penting, tapi kesanku sebagai pembaca yang jarang membaca teenlit merasa cerita ini pas aja sama realita. Kelima, ternyata ada twistnya, loh. Intinya, novel ini bukan hanya tentang sakit-sakitan. Yang pasti, ada unsur persahabatan, romance–romansa yang sederhana karena tokoh-tokohnya masih remaja–dan unsur komedi.
Secara keseluruhan, novel ini memuaskan sekali. Sayangnya, ada beberapa bagian yang sepertinya dibiarkan menggantung dan tidak jelas hubungan sebab-akibatnya, sampai-sampai aku berharap ada kelanjutan cerita ini meski sepertinya tidak mungkin. Selain itu, percakapan per tokohnya tidak begitu jelas–maksudnya yang bicara seperti ini siapa dan yang bicara seperti itu siapa. Tapi, ada yang bilang kalau hal itu justru jadi ciri khasnya novel Jepang. Kok bisa, ya? Hehe. Gaya bicara per tokohnya pun masih terkesan sama. Entah itu karena terjemahannya atau memang dari versi Jepangnya, namun kadang aku mengira kalau si A mengobrol dengan si B, padahal si A ternyata mengobrol dengan si C. Meski begitu, aku tidak merasa terlalu terganggu kok. Aku udah terlanjur suka sekali dengan interaksi tokoh maupun jalan ceritanya sehingga aku hampir tidak ragu memberi rating 5 dari 5 untuk I Want to Eat Your Pancreas.
Best quote:
Walaupun bisa memilih pilihan yang berbeda, tak diragukan
lagi bahwa aku memilihnya atas kemauanku. - hal 237
Komentar
Posting Komentar